Rabu, 29 Juni 2016

penting, perkara haram-syuhbat di zaman sekarang


Sebagaimana kewajiban menyampaikan ilmu, berikut kupas sebab sederhana, dari pertanyaan:
Mengapa sering malas-malasan?
Mengapa mudah ngantuk ketika belajar/banyak tidur?
Mengapa mudah lupa?
Mengapa doa tidak dikabulkan?
Mengapa terkadang terlihat lesu, tidak semangat, dan mood-mood'an?
Mengapa jika mau ibadah awal waktu rasanya berat?
Mengapa ketika beribadah rasanya ingin cepat-cepat (tidak merasakan nikmat)? Lalu, apakah sholat kita kategori yang diterima atau tidak?

Insya-Allah yang sabar membaca akan mendapat faedahnya, dan yang tidak sebagaimana angin berlalu (berlaku untuk semua statusku yang sejenis).

Merenungi dulu, karena dengan merenungi ('stimulus-respon') otak kita lebih mudah menangkap ilmu.

sudahkah makanan yang setiap saat kita makan jelas kehalalannya? dengan mengetahui sumbernya, bahan campurannya, dari cara jual-belinya dari yang dibeli, sesuai syara' atau tidak, atau bahkan mengandung riba, atau uang yang digunakan merupakan uang haram yang mengakibatkan makanan yang halal menjadi haram?
sudahkah kita menanya, meneliti dari mana sumber makanan yang dikasihkan, atau langsung kita terima bagitu saja, dibeli begitu saja?

Dalam kitab Taurat,
"Barangsiapa tidak menghiraukan dari mana sumber makannya, niscaya Allah tidak akan menghiraukan pula dari mana ia akan dimasukkan ke dalam neraka."

dalam kitab Taurat sudah ada anjuran untuk bersikap Wara', (memelihara diri dan hanya memilih yang halal semata-mata), apalagi kitab sempurna kita?

Allah berfirman,
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu" (Al-Baqoroh, 2: 168)

"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rizkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah Yang kamu beriman kepada-Nya." (Al-Maidah, 5:88)

Rasulullah Saw,
"Mencari yang halal adalah kewajiban setiap muslim"

dari nasihat-nasihat ulama shalih kita, Imam Syafi'i, dab imam-imam besar lainnya, slah satunya dari Imam Habib Abdullah Al-Hadad,
saya ringkas bahwa makanan salah satu sebab yang mampu membuat hati kita keras, menggelapkan hati, mengekang seluruh anggota badan dari melakukan ibadah dan ketaatan, ibadah tidak diterima, membuat doa kita tidak dikabulkan, yang membuat kita sering malas, ngantuk'an, membuat anggota tubuh kita bermaksiat, dan menjadikan sebab senantiasa menyintai urusan dunia.

Mengapa demikian? Bukankah hanya sekadar makanan?

Contoh, sabda Rasulullah Saw,
"Barangsiapa membeli sepotong pakaian dengan harga sepuluh dirham, satu dirham diantaranya haram, niscaya Allah tidak akan menerima daripadanya satu shalat pun, selagi pakaian itu masih membungkus tubuhnya."

Sedang itu hanyalah pakaian yang digunakan sebagai penutup jasad yang lahir, lalu bagaimana jika makanan yang sebagai pemenuh jasad batiniah, yang akan menjadi darah yang mengalir dan menjadi daging, tulang, dan seluruh tubuh ini?
Bagaimana jika kita telah memakan makanan yang haram, mengandung makanan dari barang haram, atau yang telah mendarah-daging dengan tubuh kita?
Masihkah kita bisa yakin, kalau sholat kita diterima jika perkara itu ada di dalam tubuh kita? sedang khusyuk saja bukan main sulitnya.

Renungkan dan perhatikan perkara ini dalam-dalam!

Apalagi di zaman kita ini, dimana kebutuhan makan juga tidak bisa dihindarkan dari proses jual-beli yang di sana ada sebab pengharaman dari pedagang yang tidak memikirkan perkara ini, yang mengabaikan syariat, leluasa menggunakan kecurangan, riba, hanya untuk mencari keuntungan dari pedagang yang tidak tahu dengan perkara hukum jual-beli, sehingga menjadikan barang dagangannya haram karena sebab itu, lalu barang tersebut dibeli orang-orang baik (tp tanpa meneliti & menanya) lalu dimasak dijadikan makanan yang dijual dan kita makan, tanpa kita tahu sebab haram tadi, akhirnya makanan haram beredar karena sebab pengharaman dalam jual-beli. Misalnya yang di trans TV, yang nama dan suaranya disamarkan, itupun yang terang-terangan menjelaskan kecurangannya dalam membuat produk makanan (haram).
Inilah yang sangat kita khawatirkan. Karena kita tidak bisa mengandalkan pemerintah yang tidak serius mengurus perkara ini, jauh sangat berbeda dengan zaman para tauladan.

Padahal dalam sabda Rasulullah Saw menyatakan,
"Setiap daging yang tumbuh dari yg haram, maka api neraka lebih pantas menerimanya."

Lalu, orang-orang shalih seperti Sahl bin Abdullah ats-Tsauri,
"Barangsiapa memakan sesuatu yang haram, maka seluruh anggota tubuhnya akan bermaksiat, baik suka atau tidak, mengetahui, atau tidak ...."

Ibnu Abbas ra., "Allah tidak akan menerima shalat seorang kamu. selagi di dalam perutnya ada sesuap dari yang haram."

Bagaimana jika darah-daging kita sudah bercampuraduk dengan barang yang haram?

belajarlah dari kisah-kisah para salaf saleh terdahulu yang sangat berlaku wara', diantaranya;
Cerita ibnu Sirin yang membeli minyak makan sebanyak satu tong besar dengan harga mahal lalu di dalamnya ketika dibuka terdaoat seekor tikus mati, maka ia membuang semua minyak di dalam tong itu.

Lalu Sufyan ats-Tsauri manakala tidak memperoleh barang yang mutlak halal, ia makan pasir.

Juga Ibnu Mubarak yang terpaksa kembali dari Kurasan ke Palestina (jauh) hanya karena lupa hendak mengembalikan pena tulis yang dipinjamnya dari temannya.

Ibrahim bin Adham terpaksa kembali dari Jarussalem ke Basrah (Irak) hanya untuk mengembalikan sebiji kurma yang jatuh dalam timbangan kurma yang dibelinya, dan ia lupa mengembalikannya ketika kurma itu ditimbang.

Lalu seorang di antara mereka berkata, "Ketika dalam perjalanan, saya tersesat jalan, sehingga saya merasa amat dahaga. Tanpa diduga-duga, saya berjumpa dengan seorang prajurit yang lantas memberi saya air minum. Maka, lantaran peristiwa itu, hatiku menjadi keras kembali selama tiga puluh tahun."

Coba bayangkan? dari kisah-kisah itu, hanya tikus mati, pen, kurma, atau yang hanya minum saja, membuat hati keras selama 30 tahun?
itulah mereka yang menimbang perkara bukan karena nilai hitung-menghitung untung ruginya, tapi perkara hukum (halal-haramnya).

Dalam ilmu fiqih 2 sebab pembagian pekara haram:
1) Haram pada zatnya, seperti bangkai, khamr, dan segala jenis binatang yang haram memakannya, seperti sebagian jenis burung, binatang buas, binatang melata, dan binatang-binatang tertentu yang diatur syara' (Misal dalam surat al-Maidah ayat 3, al-Baqoroh ayat 173, dsb).
Baik sedikit ataupun banyak semua binatang ini haram, kecuali keadaan terpaksa (yakni jika ia merasa dirinya akan binasa apabila tidak makan, sedang ketika itu tidak ada makanan lain)

2) Haram pada selainnya, yaitu dzatnya halal, tetapi pemanfaatannya haram. Contohnya, setiap benda milik orang lain ( Yang halal), tetapi menjadi haram bagi kita yang mengambil/memiliki selain dengan cara yang dibenarkan syara', seperti jula-beli, nadzar, hadiah, pemberian, sedekah, warisan, dan sbagainya (sebab halal). Jika kita memakan, meminum barang yang dari sebab haram (tidak dibenarkan syara') maka jadilah kita memakan dan meminum barang yang haram.
Misalnya mencuri, khianat, riba, curang, dan sebagainya.

Meskipun dengan jual-beli, barang yang haram akan tetap haram. meskipun dengan jual-beli yang sah secara syara' tetap tidak bisa mengubah sifat barang yang haram menjadi halal. Demikian pula jika jual-belinya yang tidak sesuai dengan syara' meskipun barangnya halal, tetap akan menukar sifat halal itu menjadi haram karena sebab tidak sahnya jual-beli.

Lalu bgaimana cara bermuamalah dengan mereka?
saya kutipkan dari penjelasan Imam Abdullah Al-Hadad, dalam bermuamalah dalam urusan dunia terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Orang-orang yang memang sudah dikenal lurus jalannya, jujur, suka berbuat kebajikan dan wara' pula. Maka dalam bermualah dengan orang ini diharuskan tanpa pengecualian, karena mereka tidak akan banyak bicara dan periksa.

2) Orang-orang yang tidak dikenal latarbelakang kehidupannya, belum diketahui keadaannya, apakah mereka jujur atau pencampuraduk (hak dengan batil), tidak diketahui orang. Terhadap orang-orang ini kita juga diharuskan bermuamalah. Hanya saja disunahkan agar menanya dan meneliti latar belakangnya dengan cara yang baik dan halus, dan itu pun jika keadaannya memungkinkan.

3) Orang-orang yang dikenal tidak jujur, suka mencampuadukan urusan, kurang wara', dan berlebih-lebihan dalam jual-beli dan muamalah. Orang yang taqwa kepada Allah semestinya meninggalkan muamalah dengan orang-orang ini. Apabila memang diperlukan bermuamalah dengan mereka, hendaknya memuaskan hati dulu dengan bertanya dan meneliti barang-barang yang akan dibelinya agar tidak menyalahi syariat. Jika dugaan anda bahwa barangnya haram, maka haram pula anda bermuamalah dengannya.

Lalu bagaimana dengan perkara yang tidak jelas halal-haramnya? atau masih meragukan? Inilah yang dimaksud syubhat. Ada perintah meninggalkan Syubat
"Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu"

Syubhat adalah perkara yang masih diragukan halal dan haramnya, disebabkan beberapa hal yang bertentangan.

Yang perlu kita jadikan pegangan perhitungannya seperti ini,
Setengah syubhat asalhnya halal, kemudian datang suatu sebab yang menimbulkan keraguan tentang kehalalannya. Dalam hal seperti ini, maka diperbolehkan berpegangan pada hukum asalnya, yakni halal. tetapi bersifat wara' atau menjaduhkan dari yang syubhat lebh utama.
Lalu syubhat yang asalnya haram, kemudian timbul keraguan yang mendakwakan bahwa ia halal. Dalam keadaan seperti ini, maka kita harus berpegang kepada hukum asalnya, yakni haram.

Nasihat Imam Habib Abdullah,
bahwa tidaklah benar jika di zaman sekarang dikatakan bahwa yang haram itu lebih banyak. sebab, di setiap zaman dan masa itu pasti ada tiga perkara berikut ini, yakni: halal, haram, dan syubhat.

maka, berprilakulah wara', dengan bersifat qanaah (cukup dengan yang ada) terhadap benda dunia, dan hendaklah cenderung kepada yang sedikit daripadanya,
dalam hal makanan cukuplah dengan perkataan Imam Sya'i beikut,
Imam Asy-Syafi‘i mengatakan, “Aku tidak pernah makan sampai kenyang sejak ber­usia enam belas tahun, karena ia da­pat memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdikan, menye­bab­kan tidur, dan melemahkan pelaku­nya dari ibadah.”
kita memperhatikan bagaimana Imam Syafi‘i menjelaskan bahaya-bahaya kenyang dan kesungguhannya dalam beribadah. Beliau menjauhi kenyang, karena pang­kal atau kunci beribadah itu adalah mem­persedikit makanan.

lalu hendaknya tidak israf (boros), tidak berleb-lebihan dan tidak terlampau menyintai nafsu syahwatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar